Welcome Myspace Comments

Minggu, 20 Mei 2012

Upaya Penanggulangan Kejahatan Berinternet

Harus diakui bahwa Indonesia belum mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan mayantara seperti dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan mayantara yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Pihak kepolisian Indonesia telah membentuk suatu unit penanggulangan kejahatan dunia maya yang berada di bawah kendali Direktrorat Reserse Kriminal Polri. Pembentukan unit kepolisian ini patut dipuji. Mengantisipasi kejahatan ini seyogianya dimulai melalui pembentukan perangkat undang-undang seperti dalam Konsep KUHP Baru dan RUU Teknologi Informasi yang disusun oleh Pusat Kajian Cyberlaw Universitas Padjadjaran. Model yang digunakan adalah Umbrella Provision atau “undang-undang payung”, artinya ketentuan cyberetice tidak dibuat dalam bentuk perundang-undangan tersendiri (khusus), akan tetapi diatur secara umum dalam RUU Teknologi Informasi dan RUU Telematika.
Selain melakukan upaya dengan mengkriminalisasikan kegiatan di cyberspace dengan pendekatan global, Pemerintah Indonesia sedang melakukan suatu pendekatan evolusioner untuk mengatur kegiatan-kegiatan santun di cyberspace dengan memperluas pengertian-pengertian (ekstensif interpretasi) yang terdapat dalam Konsep KUHP Baru. Artinya, Konsep KUHP Baru sebelumnya tidak memperluas pengertian-pengertian yang terkait dengan kegiatan di cyberspace sebagai delik baru.
         Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan yang ditempuh dalam Konsep KUHP Baru yang berkaitan dengan kegiatan cyberspace antara lain (1) dalam Buku I (ketentuan umum) dibuat ketentuan mengenai (a) pengertian “barang” (Pasal 174) yang di dalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa telepon atau telekomunikasi atas jasa komputer. (b) pengertian “anak kunci” (Pasal 178) yang di dalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. (c) pengertian “surat” (Pasal 188) termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lainnya. (d) pengertian “ruang” (Pasal 189) termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu oleh pelaku. (e) pengertian “masuk” (Pasal 190) termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. (f) pengertian “jaringan telepon” (Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer. (2) dalam Buku II memuat delik-delik baru yang berkaitan dengan kemajuan teknologi dengan harapan dapat menjaring kasus-kasus kejahatan-kejahatan dunia maya antara lain (a) menyadap pembicaraan di ruangan tertutup dengan alat bantu teknis (Pasal 263), (b) memasang alat bantu teknis untuk tujuan mendengar atau merekam pembicaraan (Pasal 264), (c) merekam (memiliki) atau menyiarkan gambar dengan alat bantu teknis di ruangan tidak untuk umum (Pasal 266), (d) merusak atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk sarana atau prasarana pelayanan umum, seperti bangunan telekomunikasi atau komunikasi lewat satelit atau komunikasi jarak jauh (Pasal 546), dan (e) pencucian uang (Pasal 641 – 642).
Usaha yang dilakukan di atas adalah melalui regulasi undang-undang dengan menggunakan sarana penal, yakni memperluas pengaturan cyberspace dalam Konsep KUHP Baru dan membuat suatu RUU Teknologi Informasi dan RUU Telematika yang berkaitan dengan kegiatan di cyberspace. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah pengkajian lebih intensif terhadap masalah yang hendak dikriminalisasikan sebagai upaya penanggulangan kejahatan dunia maya. Persyaratan pokok adalah kerugian korban yang signifikan dengan perbuatan pelaku. Ketentuan pidana harus dapat dioperasionalkan dan keyakinan bahwa tidak ada sarana lain yang betul-betul dapat mengatasinya.
Meskipun hukum pidana merupakan sarana terakhir (ultimum remedium), tetapi hukum pidana bukanlah alat yang cukup ampuh untuk menanggulangi kejahatan berinternet karena penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana hanya pengobatan simptomatik sehingga dibutuhkan sarana lain yang bersifat non penal. Sarana non penal ini dapat dilakukan melalui saluran teknologi (techno-prevention) pada pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan itu sendiri yang dapat digunakan manusia, baik untuk tujuan baik maupun jahat. Pendekatan budaya ini dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan tinggi warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap setiap masalah berinternet dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer yang baik melalui media pendidikan. Pentingnya pendekatan ini adalah dalam upaya mengembangkan kode etik dan perilaku (code of behaviour and ethics) dalam pemakaian teknologi internet. Pendekatan non penal ini diharapkan dapat mengurangi pelanggaran hukum yang menggunakan sarana teknologi sebagai bentuk pencegahan kejahatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar